ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
"ETIKA DAN MORAL"
OLEH : WHINDA J. BATA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Indonesia terkenal dengan
keragaman budayanya. Manusia dan kebudayaan adalah satu hal yang tidak bisa di
pisahkan karena di mana manusia itu hidup dan menetap pasti manusia akan hidup
sesuai dengan kebudayaan yang ada di daerah yang ditinggalinya.
Manusia merupakan makhluk
sosial yang berinteraksi satu sama lain dan melakukan suatu kebiasaan-kebiasaan
yang terus mereka kembangankan dan
kebiasaan-kebiasaan tersebut akan menjadi kebudayaan. Setiap manusia
juga memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, itu disebabkan mereka memiliki
pergaulan sendiri di wilayahnya sehingga manusia di manapun memiliki kebudayaan
yang berbeda. Perbedaan kebudayaan disebabkan karena perbedaan yang dimiliki
seperti faktor lingkungan, faktor alam, manusia itu sendiri dan berbagai faktor
lainnya yang menimbulkan keberagaman budaya tersebut. Seiring dengan
berkembangnya teknlogi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonesia
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kebudayaan masing–masing
daerah, karena kebudayaan merupakan jembatan yang menghubungkan manusia yang
satu dengan manusia yang lain.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini dalam bentuk pertanyaan yaitu
sebagai berikut
1.
Apa pengertian Etika dan Moral?
2.
Apa Hubungan Manusia dan Kebudayaan?
3.
Bagaimana manusia ditinjau dari sudut budaya?
4.
Apa yang dimaksud Mitos dan Religi?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah umum yaitu Ilmu Sosial Budaya
Dasar.
D.
Manfaat Penulisan
Adapunmanfaat
tujuan dari penulisan makalah ini ditinjau dari rumusan masalah yaitu
1. Untuk
mengetahui pengertian Etika dan Moral
2. Untuk
mengetahui Hubungan Manusia dan Kebudayaan
3. Untuk
mengetahui bagaimana manusia ditinjau dari sudut budaya
4. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud Mitos dan Religi
5.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Etika Dan Moral
Etika
adalah ilmu tentang kesusilaan, ilmu inilah yang menentukan bagaimana
sepatutunya manusia hidup dalam masyarakat mengenal, memikirkan, serta memahami
lebih mendalam tentang apa yang baik,
dan apa yang tidak baik atau apa yang tidak tercela, dan apa yang dapat
menimbulkan aib. Jelasnya etika senantiasa menyoroti perilaku dan tingkah laku
setiap orang dan (Individu) di dalam hidup bermasyarakat. Tujuan mempelajari
Etika adalah semata-mata untuk mendapatkan kesan ideal yang sama bagi seluruh
manusia di tempat manapun, dalam waktu dan kapan pun, mengenai penilaian baik
dan buruk menurutmenurut ukuran keetikaan. Namun demikian, tujuan mempelajari
etika itu tidak luput dari hambatan Psiko-kultural. Penyebabnya terletak pada
penilaian tentang ukuran yang baik dan buruk
sifatnya relatif. Tergantung dari objek yang dinilai, juga termasuk yang
menilai,serta keadaan masyarakat pada suatu daerah tertentu.
Moral
merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral
juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian
(pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan
moral.Moral bukan sesatu yang datang dari luar diri manusia. Moral berada di
dalam diri manusia sebagai potensi. Pasif atau aktifnya moral itu bergantung
dan sangat ditentukan oleh manusia (individu) itu sendiri. Karena moral bukan
sesuatu zatyang melekat di dalam diri setiap manusia, maka penilaian terhadap moral selalu dititik dari
hasil aktivitas tingkah lakunya.
Dengan
demikian, awal mula tumbuh suburnya moral, kesadaran, tingkah laku bermoral,
kesemuanya ditentukan oleh mantapnya bimbingan dalam lingkungan keluarga.
B. Manusia Dan Kebudayaan
Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan
dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan
dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnya dengan alat
pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk
hidup yang sama-sama makhluk alamiah, berbeda dengan manusia hewan tidak dapat
melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam
sekitarnya.
1. Hakikat Manusia
Manusia diciptakan oleh
Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna. Manusia dilengkapi dengan
akal pikiran serta hawa nafsu. Tuhan menanamkan akal dan pikiran kepada manusia
agar dapat digunakan untuk kebaikan mereka masing – masing dan untuk orang di
sekitar mereka. Adapun hakikat manusia adalah sebagai berikut :
a.
Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang
dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b.
Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah
laku intelektual dan sosial.
c.
Mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang
positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d.
Makhluk yang dalam proses menjadi
berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e.
Individu yang dalam hidupnya selalu
melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang
lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati .
f.
Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah
makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
g.
Individu yang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai
dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dibawah ini pengertian kebudayaan
menurut para ahli :
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Di sebut dengan Cultural-Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan
dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi
Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta,
karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa
itu. Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat
merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Havinghust dan Neugarten menyatakan
bahwa kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku, etiket,
bahasa, kebiasaan, kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap dan
nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam
benda termasuk di dalamnya alat-alat teknologi. Dari pendapat ini dapat kita
ketahui bahwa kebudayaan dapat berujud tingkah laku, hal-hal yang berupa
rohaniah dapat pula berupa barang-barang material.
Definisi Kebudayaan adalah
kebiasaan – kebiasaan suatu masyarakat yang dilakukan secara turun temurun dari
satu generasi ke generasi berikutnya, dan setiap daerah memiliki kebudayaan
sendiri – sendiri.
1.
Unsur-unsur dalam budaya
Ada tujuh Unsur Kebudayaan sebagai
berikut :
a. Sistem Religi
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena
kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai
makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan
masing – masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan
bersatu.
c. Sistem Pengetahuan
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang
berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem –
Sistem Ekonomi.
Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak
terbatas dan selalu ingin lebih.
e. Sistem Teknologi dan Peralatan.
Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan
sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
f. Bahasa
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai
lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada
bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.
g. Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat
memuaskan. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau
unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits
menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
·
alat-alat teknologi
·
sistem ekonomi
·
Keluarga
·
kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
· sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
· organisasi ekonomi
· alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
· organisasi kekuatan (politik)
2. Faktor Yang Mempengaruhi Diterimanya Suatu Unsur Kebudayaan Baru
a.
Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan
atau kontak
b.
Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan
c.
Corak struktur sosial suatu masyarakat
d.
Adanya unsur kebudayaan yang telah menjadi
landasannya sebelumnya
e.
Dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya
oleh masyarakat
2.
Kaitan Manusia Dan Budaya
Manusia
sebagai perilaku kebudayaan ya’ni dapat dipandang setara yang dinyatakan
sebagai dialektis, proses dialektis tercipta melalui tiga tahap:
a)
Eksternalisasi, proses manusia mengekspresikan dirinya dalam membangun dunianya
b)
Obyektivitas, proses msyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu kenyataan yang
terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia
c)
Internalisasi, proses masyarakat disergap kembali oleh manusia, yakni manusia
yang mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dapat idup dengan baik
3.
Kedudukan Manusia Terhadap Kebudayaan
Manusia
dan kebudayaan pada dasarnya memiliki hubungan yang sangant erat
kaitannya, karena hampir seluruh kegiatan manusia yang di kerjakaannya setiap
saatnya merupakan sebuah kebudayaan. Berikut ini adalah 4 kedudukan manusia
terhadap kebudayaan:
a)
penganut kebudayaan,
b)
pembawa kebudayaan,
c)
manipulator kebudayaan, dan
d)
pencipta kebudayaan.
C. Manusia Ditinjau dari Sudut Budaya
Bila
manusia ditinjau dari sudut budaya, maka yang menjadi titik pengamatan adalah
seluruh hasil aktivitas tingkah lakunya dalam bentuk karya. Karena satu-satunya
keunggulan manusia dalam berkarya adalah merubah keterhamparan alam yang serba
pasif menjadi berfungsi sehingga
memiliki nilai tambah.
Aktivitas
karya-karya manusia berawal darimerubah hamparan alam yang serba pasif, tahap
demi tahap manusia mulai menguasai alam. Dengan kata lain ketergantungan
manusia menggunakan akal pikiran. Pada awalnya alam dianggap angker, rimba raya
dianggapberpenghuni, pohon-pohon besar diberi sesajen, hutan belantara dibiarkan
tumbuh karena dianggaptersinggung penghuninya bila diganggu, kini telah berubah
drastis.
Tahapan-tahapan
perubahan cara berpikir melalui penggunaan akal pikiran menghasilkan sejumlah
hasil karyamanusia dalam bentuk teknologi serba efektif, behasil guna dan
berdaya guna. Tranportasi menggunakan hewan tunggang, berganti dengan alat-alat
transportasi serba canggih. Mulai dari beberapa jenis hewan tunggangan beralih
ke sepeda, dokar, becak, melejit silih berganti kepada penciptaan berbagai
jenis kendaraan beroda dua, beroda empat, pesawat terbang, kereta api sampai
kepada jeis-jenis pesawat luar angkasa.
Demikian
halnya dengan alat-alat komunikasi, berawal dari kentongan selanjutnya kepada
model-model alat komunikasi yang praktis berdasarkan generasi penciptanya.
Disisi
lain, akses terhadap manusia ditinjau dari sudut budaya menjangkau pula penataan
nilai-nilai yang seharusnya menjadi suatu keharusan dijunjung tinggi. Namun
realitasnya menunjukkan adanya involution , sementara disatu pihak hak-hak asasi dan martabat sesama manusia
semakin dicanangkan dan semakin terkoyak. Hal ini merupakan dilema sepanjang
sikluas kehidupan manusia terjebak dalam pretensi ego yang tak terkendali.
Menifestasinya tampil dalam bentuk-bentuk keinginan menguasai, rapuhnya
pengendalian diri, kesewenangan, kekuasaan tak terbatas, sifat serakah denagn
ciri otoriter yang melahirkan tirani.
Pengahargaan
bukan merupakan suatu hadiah, pemberian, atau ada karena sesuatu yang diingini
maka penghargaan harus selalu ditonjolkan
bahkan berlebih-lebihan. Bila hal ini terjadi, berarti manusia telah
kehilangan martabat dan harga diri. Maka terbentuklah sikap ingin selalu diuja,
sifat menjilat, dan pada gilirannya akan terjerumuske dalam pemuasan
segala-galanya tanpa mengenal batas. Bahkan ada menjadi kebiasaan menyalahkan
yang benar, membengkokkan yang lurus. Kondisi seperi itu pasti akan megundang konflik yang berkepanjangan. Itulah
sebabnya untuk menguasai penonjolan sikap dan sifat seperti disebutkan, maka
setiap manusia harus menyadari
keberadaan dirinya yang serba
terhubung dengan Tuhan Yang Maha Esa,
terhubung dengan sesamanya manusia dan terhubung dengan lingkungannya.
Komponen-komponen yang disebutkan inilah yang berfungsi memberi makna terdalam
terhadap kebenaran dirinya yang mampu
menumbuhkembangkan citra citra kemanusiaan didalam sifat manusiawi yang hakiki.
D. Mitos dan Religi
Mitos (bahasa
Yunani: μῦθος—
mythos) atau mite (bahasa
Belanda: mythe)
adalah cerita prosa
rakyat
yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang
alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar
terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih
luas, mitos dapat mengacu kepada cerita
tradisional. Pada umumnya mitos menceritakan
terjadinya alam semesta, dunia dan para
makhluk penghuninya, bentuk topografi,
kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya. Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa
sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai alegori
atau personifikasi
bagi fenomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang
ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman religius
atau ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai bahan ajaran
dalam suatu komunitas.
Klasifikasi mitos
Yunani terawal oleh Euhemerus,
Plato
(Phaedrus),
dan Sallustius
dikembangkan oleh para neoplatonis
dan dikaji kembali oleh para mitografer
zaman
Renaisans seperti dalam Theologia
mythologica (1532).
Mitologi perbandingan
abad
ke-19 menafsirkan kembali mitos sebagai evolusi menuju ilmu
(E. B. Tylor),
"penyakit bahasa" (Max
Müller), atau penafsiran ritual
magis
yang keliru (James Frazer).
Penafsiran selanjutnya menolak pertentangan antara mitos dan sains. Lebih
lanjut lagi, mitopeia
seperti novel fantasi,
manga,
dan legenda urban,
dengan berbagai mitos buatan
yang dikenal sebagai fiksi, mendukung gagasan mitos sebagai praktik sosial yang
terus terjadi.
Pelaku
utama yang diceritakan dalam mitos biasanya adalah para dewa,
manusia, dan pahlawan supranatural. Sebagai kisah suci,
umumnya mitos didukung oleh penguasa atau imam/pendeta yang sangat erat dengan
suatu agama
atau ajaran kerohanian.
Dalam suatu masyarakat dimana mitos itu disebarkan, biasanya suatu mitos
dianggap sebagai kisah yang benar-benar terjadi pada zaman purba. Pada
kenyataannya, banyak masyarakat yang memiliki dua kategori kisah tradisional:
"kisah nyata" atau mitos, dan "kisah dongeng" atau fabel.
Umumnya mitos penciptaan
berlatar pada masa awal dunia, saat dunia belum berbentuk seperti sekarang ini,
dan menjelaskan bagaimana dunia memperoleh bentuk seperti sekarang iniserta
bagaimana tradisi,
lembaga
dan tabu
ditetapkan.
Istilah "mitologi"
dapat mengacu kepada kajian mengenai mitos atau suatu himpunan atau
koleksi berbagai mitos. Sebagai contoh, mitologi lanskap
adalah kajian mengenai pembentukan suatu bentang
alam
menurut mitos suatu bangsa, sementara mitologi Hittit
adalah himpunan mitos-mitos bangsa
Hittit. Dalam folkloristika,
suatu "mitos" adalah kisah suci yang biasanya menjelaskan bagaimana
dunia maupun manusia dapat terbentuk seperti sekarang ini, "suatu kisah
yang menguraikan pandangan fundamental dari suatu kebudayaan dengan menjelaskan
aspek-aspek dunia alamiah dan menggambarkan praktek psikologis dan sosial serta
pandangan ideal suatu masyarakat". Banyak sarjana dalam bidang ilmu
lainnya yang menggunakan istilah "mitos" dengan cara yang berbeda;
dalam pengertian yang lebih luas, istilah tersebut dapat mengacu kepada cerita
tradisional atau—dalam percakapan sehari-hari—suatu
hal salah kaprah
dalam masyarakat atau suatu entitas khayalan.
Mitos
erat kaitannya dengan legenda
dan cerita rakyat.
Mitos, legenda, dan cerita rakyat adalah cerita tradisional dalam jenis yang
berbeda. Tidak seperti mitos, cerita rakyat dapat berlatar kapan pun dan dimana
pun, dan tidak harus dianggap nyata atau suci oleh masyarakat yang
melestarikannya. Sama halnya seperti mitos, legenda adalah kisah yang secara
tradisional dianggap benar-benar terjadi, namun berlatar pada masa-masa yang
lebih terkini, saat dunia sudah terbentuk seperti sekarang ini. Legenda
biasanya menceritakan manusia biasa sebagai pelaku utamanya, sementara mitos
biasanya fokus kepada tokoh manusia super.
Perbedaan
antara mitos, legenda, dan cerita rakyat merupakan cara yang mudah dalam
mengelompokkan cerita tradisonal. Dalam banyak budaya, sulit untuk menarik
garis lurus antara mitos dan legenda. Daripada membagi kisah tradisional
menjadi mitos, legenda, dan cerita rakyat, beberapa budaya membagi mereka
menjadi dua kategori, yang satu langsung mengacu kepada cerita rakyat, yang
lainnya mengkombinasikan mitos dan legenda. Bahkan mitos dan cerita rakyat
tidak sepenuhnya berbeda. Suatu kisah dapat dianggap nyata (dan menjadi mitos)
dalam suatu masyarakat, namun dianggap tak nyata (dan menjadi cerita rakyat)
dalam masyarakat lainnya. Pada kenyataannya, saat suatu mitos kehilangan
statusnya sebagai bagian dari suatu sistem religius, mitos seringkali memiliki
sifat cerita rakyat yang lebih khas, dengan karakter dewa-dewi terdahulu yang
diceritakan kembali sebagai manusia pahlawan, raksasa, dan peri.
Mitos,
legenda, dan cerita rakyat hanyalah sebagian kategori dari cerita
tradisional. Kategori lainnya meliputi anekdot
dan semacam kisah jenaka.
Sebaliknya, cerita tradisional adalah suatu kategori dari folklor,
meliputi beberapa hal seperti sikap tubuh, busana adat, dan musik.
Mircea
Eliade berpendapat bahwa salah satu fungsi penting mitos
adalah untuk membangun suatu model perilaku dan bahwa mitos dapat memberikan
pengalaman religius. Dengan menceritakan atau memeragakan mitos, anggota suatu
masyarakat tradisional dapat merasa lepas dari masa kini dan kembali lagi ke
zaman mitis, sehingga membawa mereka dekat dengan ilahi.
Lauri Honko
menegaskan bahwa dalam beberapa kasus, suatu masyarakat akan menghidupkan
kembali suatu mitos untuk menciptakan kembali suasana zaman mitis. Sebagai
contoh, akan diperagakan kembali penyembuhan yang dilakukan dewa pada zaman
purba dalam upaya penyembuhan seseorang di masa kini. Tak jauh berbeda, Roland
Barthes berpendapat bahwa budaya modern mengeksplorasi
pengalaman religius. Karena tugas sains bukanlah menegakkan moral manusia,
suatu pengalaman religius adalah upaya untuk terhubung dengan perasaan moral di
masa lalu, yang kontras dengan dunia teknologi di zaman sekarang.
Joseph
Campbell menyatakan mitos memiliki empat fungsi utama:
Fungsi Mistis—menafsirkan kekaguman atas alam semesta; Fungsi
Kosmologis—menjelaskan bentuk alam semesta; Fungsi Sosiologis—mendukung dan
mengesahkan tata tertib sosial tertentu; dan Fungsi Pendagogis—bagaimana
menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan apa pun.
Mitos
dan religi merupakan gejala kebudayaan manusia yang tidak mudah untuk dapat di
analisis secara logis. Mitos hanya seperti sekumpulan gagasan yang tidak
koheren dan abstrak. Ciri khas mitos adalah berupa tidak adanya sebab atau
alasan yang jelas. Sedangkan pemikiran religius tidak tepat apabila
dibandingkan dengan pemikiran rasional. Hubungan antara pemikiran tersebut
menjadi objek kajian dalam filsafat Abad Tengah. Namun dalam kenyataannya
misteri (religi) tidak bertentangan dengan rasio, melainkan melengkapi dan
menyempurnakan rasio.
Tetap
menjadi persoalan ketika usaha penyatuan antara rasio dan religi dilakukan oleh
para pemikir religius. Menurut Pascal unsur pokok religi adalah kesamar-samaran
dan ketidakmampuannya ditangkap secara menyeluruh. Bagi Kierkegaard, kehidupan
religius merupakan “paradoks’ besar. Usaha untuk meluaskan paradoks hanya akan
menyangkal dan menghancurkan kehidupan religius. Religi menjanjikan kepada kita
hubungan yang reat dengan alam, sesama manusia, akhirat bahkan dengan Tuhan.
Religi menjanjikan dunia transenden sebagai tujuaan manusia yang hidup di
dunia.
Dalam
kajian filsafat kebudayaan, religi tidak ditempatkan pada tataran sistem
metafisis atau teologis. Yang menjadi persoalan adalah bentuk imajinasi mistis
serta bentuk pemikiran religius. Gejala alam dan gejala manusia dapat
ditafsirkan secara mitis dan keduanya juga memerlukan interpretasi mitis.
Meskipun terdapat keanekaragamaan serta ketidakcocokan dalam penciptaan mitos,
dalam hal fungsi penciptaan mitos itu sendiri memiliki kesamaan.
Pemikiran-pemikiran dasar mengenai mitos hampir sama di seluruh dunia, meskipun
berada di bawah kondisi sosial serta budaya yang berbeda. Hal ini juga terjadi
dalam sejarah religi, bahwa religi memiliki bentuk tertentu dan pemikiran
religius memiliki kesatuan di dalamnya.
Dalam
konteks cakupan mitos dan religi, konsepsi mengenai alam dan kehidupan manusia
tidak terlepas dari makna rasional. Lapisan dimana mitos bergerak bukanlah
lapisan pemikiran, melainkan perasaan. Tentang mitos dan agama primitif masih
dapat dilakukan sebuah penalaran. Namun hubungannya sangat tergantung pada kesatuan
perasaan. Kesatuan perasaan ini merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam
pemikiran primitif. Jika pemikiran ingin menggambarkan dan menerangkan
realitas, haruslah digunakan metode umum/universal yaitu pengelompokan dan
sistematisasi. Kehidupan primitif dialami sebagai suatu keseluruhan yang
berkelanjutan, saling terkait, yang sangat membuka persamaan. Manusia primitif
memandang alam sebagai hal yang pragmatis dan teknis dan alam bersifat
simpatetis. Jika kita melupakan hal ini, kita tidak akan dapat mendekati dunia
mistis. Mitos adalah hasil dari emosi dan latar belakang emosional tersebut
yang mengakibatkan berbagai macam hasil yang ditimbulkan sehingga muncul
berbagai perbedaan dalam pengalaman empiris, untuk menjembatani hal tersebut
masyarakat primitif menggunakan perasaan solidaritas kehidupan yang sangat
kuat. Keyakinan totemistik merupakan salah satu ciri khas kebudayaan primitif.
Dalam totemisme, manusia tidak hanya menganggap dirinya sebagai keturunan
spesies hewan tertentu, terdapat ikatan yang secara aktual dan genetis
menghubungkan hidup fisik dan sosial manusia dengan leluhur-leluhur totemistis.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia pada
dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai
makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu
menguasai alam sekitarnya dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini
berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah,
berbeda dengan manusia hewan tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan
nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya. Aktivitas karya-karya manusia
berawal dari merubah hamparan alam yang serba pasif, tahap demi tahap manusia
mulai menguasai alam. Dengan kata lain ketergantungan manusia menggunakan akal
pikiran. Pada awalnya alam dianggap angker, rimba raya dianggapberpenghuni,
pohon-pohon besar diberi sesajen, hutan belantara dibiarkan tumbuh karena
dianggap tersinggung penghuninya bila diganggu, kini telah berubah drastis.
Mitos
dan religi merupakan gejala kebudayaan manusia yang tidak mudah untuk dapat di
analisis secara logis. Mitos hanya seperti sekumpulan gagasan yang tidak
koheren dan abstrak. Ciri khas mitos adalah berupa tidak adanya sebab atau
alasan yang jelas. Sedangkan pemikiran religius tidak tepat apabila
dibandingkan dengan pemikiran rasional. Hubungan antara pemikiran tersebut
menjadi objek kajian dalam filsafat Abad Tengah. Namun dalam kenyataannya
misteri (religi) tidak bertentangan dengan rasio, melainkan melengkapi dan
menyempurnakan rasio.
B.
Saran
–saran
Ilmu tentang manusia
dan lingkungannya memang tidak ada batasan untuk digali dan dicari pemahaman
lebihnya. Jadi jangan berhenti disini saja untuk mengkaji hubunngan manusia dan
lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifi,
Zainal, S.Pd., M.Pd. 2012. Ilmu Sosial
Dudaya Dasar. Makassar: Anugrah Mandiri.
www.wikipedia.com
0 komentar:
Posting Komentar